Laman

Jumat, 22 Februari 2013

Kesehatan



WASPADAI GAGAL GINJAL PADA ANAK DAN USIA REMAJA-SINDROM NEFROTIK
Posted by kiddieadm in Ginjal dan Saluran Kemih, Sindrom Nefrotik |


Apa yang dimaksud dengan Sindrom Nefrotik?
Sindrom Nefrotik adalah suatu tanda bahwa ginjal tidak dapat bekerja dengan baik. Dapat timbul pada semua usia, tapi yang banyak terjadi yaitu pada anak-anak antara usia 18 bulan sampai 8 tahun. Seseorang dikatakan menderita Sindrom Nefrotik jika dalam air seninya (urin) mengandung protein dalam kadar yang tinggi, namun protein di dalam darahnya rendah, dan kadar kolesterol darahnya tinggi. Sindrom Nefrotik menandakan adanya kerusakan pada ginjal. Jika tidak diobati, akan dapat menyebabkan terjadinya gagal ginjal, oleh karena itu sangat penting untuk mendapatkan pengobatan sesegera mungkin.

Apa penyebab seseorang menderita Sindrom Nefrotik?
Sindrom Nefrotik biasanya disebabkan oleh kerusakan pada pembuluh darah kecil (glomeruli) di dalam ginjal yang menyaring kotoran dan kelebihan air dalam darah. Glomeruli yang sehat menjaga protein dalam darah (terutama albumin) yang dibutuhkan untuk memelihara jumlah cairan yang tepat dalam tubuh (dari penyerapan hingga pengeluaran) melalui urin. Jika rusak, glomeruli membiarkan jumlah protein dalam darah keluar dari tubuh melalui urin.

Apa saja gejala yang ditimbulkan jika seseorang menderita Sindrom Nefrotik?
Pembengkakan (edema), terutama bengkak di ke dua kelopak mata, perut, tungkai bawah, atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin yang berkurang.
Air seni (urin) yang berbusa yang disebabkan oleh berlebihnya kadar protein dalam urin. Keluhan lainnya dapat pula ditemukan seperti urin berwarna kemerahan (hematuria).
Kenaikan berat badan yang disebabkan oleh penumpukan cairan di dalam tubuh.

Bagaimanakah Dokter dapat mengetahui seseorang menderita Sindrom Nefrotik?
Dokter akan bertanya apakah terdapat gejala-gejala Sindrom Nefrotik dan memeriksa fisik anak apakah ditemukan tanda-tanda Sindrom Nefrotik.
Dokter akan melakukan pemeriksaan laboratorium yang meliputi pemeriksaan darah dan urin.
Mungkin dokter akan melakukan biopsi ginjal.
Dokter juga mungkin akan mendeteksi adanya faktor-faktor lainnya yang dapat meningkatkan risiko terkena Sindrom Nefrotik.

Bagaimana perawatan dan pengobatan untuk Sindrom Nefrotik?
Perawatan pada Sindrom Nefrotik mencakup perawatan semua kondisi medis dasar yang mungkin menyebabkan timbulnya Sindrom Nefrotik. Pengobatan yang diberikan tergantung pada usia (dewasa atau anak-anak), dan penyakit yang menyebabkan timbulnya Sindrom Nefrotik. Bila diagnosis sindrom nefrotik telah ditegaskan, sebaiknya janganlah tergesa-gesa memulai terapi kortikosteroid, karena remisi* spontan dapat terjadi pada 5-10% kasus. Steroid dimulai apabila gejala menetap atau memburuk dalam waktu 10-14 hari.

Obat-obatan yang digunakan mencakup:
Pil untuk mengeluarkan cairan dari tubuh (diuretics) seperti furosemide atau spironolactone yang bertujuan untuk meningkatkan pengeluaran cairan pada ginjal.
Obat anti hipertensi, bila terdapat hipertensi, yang berfungsi untuk menurunkan tekanan darah dan juga mengurangi jumlah protein yang dikeluarkan dalam air seni (urin).
Obat-obat untuk menurunkan kadar kolesterol dalam darah.

Pola Makan (diet)
Selain obat-obatan, perubahan pada pola makan (diet) dapat membantu penderita Sindrom Nefrotik.
Pola makan yang disarankan adalah sebagai berikut:
Mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung protein, seperti: ikan, ayam, daging sapi dan telur.
Mengkonsumsi makanan diet rendah garam untuk membantu mengurangi pembengkakan (edema).
Mengurangi jumlah lemak dan kolesterol dalam diet untuk mengatur level kolesterol dalam darah.

*remisi adalah kondisi dimana kadar protein dalam air seni (urin) negatif selama 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu.

Sumber:
http://www.mayoclinic.com/health/nephrotic-syndrome/DS01047
http://medilinks.blogspot.de/2011/06/nephrotic-syndrome-disease-of-central.html
http://www.pediatric.com

Pengertian Asas Legalitas dan Asas Non Retro Aktif


Posted by Pepnozfirman

Uraian-uraian mengenai sejarah asas legalitas dalam buku-buku, tulisan para sarjana pada umumnya sependapat bahwa asas tersebut ada pada jaman dimana hukum pidana belum tertulis, ketika kesewenang-wenangan penguasa (Raja, Hakim) semakin tidak tertahankan oleh rakyat lagi. Pada jaman hukum pidana belum tertulis, sementara kekuasaan raja bersifat mutlak, sumber hukum pidana adalah “hukum adat” atau kebiasaan-kebiasaan yang kemudian berkembang ke arah “keyakinan atau keadilan pribadi” sang penguasa. Pada akhirnya menjadi kesewenang-wenangan penguasa, di mana pemidanaan dilakukan sesuai dengan selera penguasa. Ketentuan pidana tergantung pada subyektifitas penguasa.[1]
Salah satu penyebab dari revolusi Prancis adalah adanya hasrat masyarakat untuk mendapatkan kepastian hukum. Rakyat tertindas menghendaki adanya kepastian hukum. Tahun 1789 asas Nullum delictum nulla poena sine preavia lege sudah dicantumkan dalam konstitusi Prancis. Kemudian dicantumkan dalam Code Penal-nya Belanda yang pernah mengalami penjajahan Prancis telah juga mencantumkan asas tersebut dalam Wetboek van Strafrecht (WvS) melalui Code Penal yang dibawa oleh Prancis. Pada tahun 1915 (mulai berlaku tahun 1918) asas tersebut telah pula dicantumkan dalam KUHP untuk Indonesia yang merupakan jajahan Belanda pada ketika itu. Akhirnya ketentuan tersebut berlaku pula setelah Indonesia merdeka.[2]
Secara formal sebenarnya asas legalitas tidak pernah dirumuskan dalam perundang-undangan, tetapi asas ini menjiwai putusan-putusan pengadilan. Karena bersumber pada case law, pada mulanya Pengadilan di Inggris merasa berhak menciptakan delik. Namun dalam perkembangannya, pada 1972 House of Lord menolak secara bulat adanya kekuasaan pengadilan untuk menciptakan delik-delik baru atau memperluas delik yang ada. Jadi kelihatannya ada pergeseran dari asas legalitas dalam pengertian materil ke asas legalitas dalam pengertian formal. Artinya, suatu perbuatan yang pada mulanya dapat ditetapkan sebagai suatu delik oleh Hakim berdasarkan common law atau hukum kebiasaan yang dikembangkan lewat putusan pengadilan, tetapi dalam perkembangannya hanya dapat ditetapkan berdasarkan undang-undang atau statute law. Pertumbuhan internasional menunjukan bahwa the principle of legality itu dapat disisihkan oleh the principle of justice. Seperti peradilan penjahat perang, korupsi, terorisme, narkotika yang merupakan lex specialis derogate legi generali. The principle of legality mempunyai kelemahan cenderung kepada tiranisme, seperti hukum pidana Jerman sewaktu jaman Hitler. Contoh kasus Lex Van der Lubbe.[3]
Menurut Moeljatno, bahwa dasar yang pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana adalah norma yang tidak tertulis, tidak pidana jika tidak ada kesalahan. Dasar ini adalah mengenai dipertanggungjawabkannya seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya. Jadi mengenai criminal responsibility atau criminal liability.[4]
Tetapi sebelum itu, mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan, yaitu mengenai perbuatan pidananya sendiri, mengenai criminal act, juga didasari oleh hal pokok, yaitu: Asas Legalitas (principle of legality), asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan  yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan. Dikenal dalam bahasa Latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine preavia lege. (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu).[5] Ucapan Nullum delictum nulla poena sine preavia lege ini berasal dari von Feurbach, sarjana hukum pidana Jerman (1775-1833). Dialah yang merumuskannya dalam pepatah Latin tadi dalam bukunya: “Lehrbuch des peinlichen Recht” (1801).[6]
Perumusan asas legalitas dari von Feurbach itu dikemukakan berhubung dengan teorinya yang dikenal dengan nama “vom psychologischen zwang”, yaitu yang menganjurkan supaya dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harus dituliskan dengan jelas, tetapi juga tentang macamnya pidana yang diancamkan. Dengan cara demikian ini, maka oleh orang yang melakukan perbuatan yang dilarang tadi lebih dahulu telah diketahui pidana apa yang akan dijatuhkan kepadanya jika nanti perbuatan itu dilakukan. Dengan demikian dalam batinnya, dalam psychen-nya, lalu diadakan tekanan untuk tidak berbuat. Apabila ada yang melakukan perbuatan tadi, maka hal dijatuhi pidana kepadanya itu dapat dipandang sebagai sudah disetujuinya sendiri. Jadi pendirian von Feurbach mengenai pidana ialah pendirian yang tergolong absolut (mutlak). Sama halnya dengan teori pembalasan (retribution).[7]
Asas dari Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi “hukum pidana harus bersumber pada undang-undang”. Artinya pemidanaan harus berdasarkan undang-undang (lege), yang dimaksud dengan undang-undang disini menurut S. R. Sianturi, adalah yang secara tertulis telah dituangkan dalam bentuk undang-undang yang dibuat oleh Pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), akan tetapi juga produk perundang-undangan lainnya seperti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya seperti peraturan/instruksi Menteri, Gubernur/Kepala Daerah dan lain sebagainnya. Karena penguasa dalam melaksanakan tugasnya (dalam hal ini peradilan) terikat pada ketentuan perundang-undangan, maka akan terhindar kesewenang-wenangan atau penilaian pribadi seenaknya. Hal ini berarti akan terdapat kepastian hukum bagi setiap pencari keadilan (yang juga terikat kepada ketentuan perundang-undangan tersebut).[8]
Menurut beberapa pakar lain asas legalitas lazim disebut dengan terminologi “principle of legality”, “legaliteitbeginsel”, “non-retroaktif”, “de la legalite” atau “ex post facto laws”. Ketentuan asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang berbunyi: “suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.”[9] (Geen feit is strafbaar dan uit kracht van een daaran voorafgegane wetteljke strafbepaling). P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir merumuskan dengan terminologi sebagai, “Tiada suatu perbuatan dapat dihukum kecuali didasarkan pada ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah diadakan lebih dulu”[10]. Andi Hamzah menterjemahkan dengan terminologi, “Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya”.[11]
Dikaji dari substansinya, asas legalitas sebagai nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya), atau nulla poena sine lege (tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang), nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana), nullum crimen sine lege (tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang) atau nullum crimen sine poena legali (tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya) atau nullum crimen sine lege stricta (tidak ada perbuatan pidana tanpa ketentuan yang tegas).[12]
Akan tetapi, walaupun asas legalitas diformulasikan dalam bahasa Latin, ada menimbulkan kesan seolah-olah asal muasal asas ini adalah dari hukum Romawi kuno. Aturan ini, dalam formulasi bahasa Latin, berasal dari juris Jerman, von Feuerbach – ini berarti bahwa asas ini lahir pada awal abad 19 dan harus dipandang sebagai produk ajaran klasik. J.E. Sahetapy menyebutkan bahwa asas legalitas dirumuskan dalam bahasa Latin semata-mata karena bahasa Latin merupakan bahasa ‘dunia hukum’ yang digunakan pada waktu itu.[13] Moeljatno menyebutkan bahwa, baik adagium ini maupun asas legalitas tidak dikenal dalam hukum Romawi Kuno. Pada saat itu dikenal kejahatan yang disebut kriminal extra ordinaria, yang berarti “kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang”. Diantara criminal extra ordinaria ini yang terkenal adalah crimina stellionatus (perbuatan durjana/jahat). Dalam sejarahnya, criminal extra ordinaria ini diadopsi raja-raja yang berkuasa.[14] Hal ini terbuka peluang yang sangat lebar untuk menerapkannya secara sewenang-wenang. Oleh karena itu, timbul pemikiran tentang harus ditentukan dalam peraturan perundang-undangan terlebih dahulu perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat dipidana.
Selain konteks di atas, ada juga yang berasumsi bahwa asas legalitas berasal dari ajaran Montesquieu dalam bukunya L’Esprit des Lois. Menurut van der Donk dan Hazewinkel Suringa baik ajaran Montesquieu maupun Rosseau mempersiapkan penerimaan umum terhadap asas legalitas, akan tetapi dalam ajaran kedua tokoh tersebut tidak terdapat rumusan asas legalitas. Maksud dari pelajaran kedua tokoh tersebut adalah melindungi individu terhadap tindakan Hakim yang sewenang-wenang, yaitu melindungi kemerdekaan pribadi individu terhadap tuntutan tindakan yang sewenang-wenang. Hans Kelsen menyebutkan dimensi asas nulla poena sine lege, nullum crimen sine lege adalah ekspresi legal positivism dalam hukum pidana.[15]
Dalam perkembangannya, yaitu dalam konsep-konsep pembaharuan hukum pidana di Indonesia, mengenai sumber hukum atau landasan legalitas untuk menyatakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana tidak hanya didasarkan pada asas legalitas formal (berdasarkan Undang-undang), tetapi juga didasarkan pada asas legalitas materiel, yaitu dengan memberi tempat kepada hukum yang hidup/hukum yang tidak tertulis.
Perluasan asas legalitas materiel ini berdasarkan pada:
1.   Landasan kebijakan legislatif nasional setelah kemerdekaan;
2.   Landasan kesepakatan ilmiah/seminar nasional;
3.   Landasan sosiologis;
4.   Landasan internasional dan komparatif.
Dari kajian bahan-bahan internasional dan perbandingan, dijumpai adanya bentuk-bentuk perlunakan/penghalusan atau pergeseran/perluasan terhadap asas legalitas formal, antara lain:
1.   Diakuinya The general principles of law reconized by the community of nation sebagai sumber hukum (lihat Pasal 15 ayat (2) ICCPR dan KUHP Kanada);
2.   Diakuinya “pemaafan/pengampunan Hakim”, rechterlijk pardon/judicial pardon/dispensa de pena” sebagai bentuk Judicial corrective to the legality principle (antara lain terlihat di Belanda, Yunani, Portugal).
Disamping itu, perkembangan/perubahan yang sangat cepat dan sulit diantisipasi dari cyber crime merupakan tantangan cukup besar bagi berlakunya asas lex certa, karena di dunia maya (cyber space) bukan dunia riel/realita/nyata/pasti.
Di dalam konsep KUHP belum ada penegasan mengenai kriteria atau rambu-rambu mengenai sumber hukum materiel mana yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum (sumber legalitas). Pasal 1 ayat (3) konsep KUHP hanya menegaskan bahwa ketentuan dalam ayat (1), yaitu asas legalitas formal, tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup atau hukum adat yang menetukan bahwa seorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak di atur dalam perundang-undangan.[16]
Asas kedua dalam yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP adalah “ketentuan pidana dalam undang-undang tidak boleh berlaku surut”, non retro aktif. Pasal 2AB atau tepatnya Pasal 6-9 Undang-undang Pokok Kehakiman tidak menetukan pengecualian terhadap asas ini. Hal ini dimaksudkan untuk menegakan kepastian hukum bagi seluruh justiabel. [17]
Asas ini sudah ditentukan untuk segala bidang hukum, yaitu Pasal 2 dari Aglemene Bepalingen van Wetgeving (Ketentuan-ketentuan umum tentang Perundang-undangan) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda dengan Publicatie (pengumuman) tanggal 30 April 1847 (Staatblaad 1847 No.23).[18]
Dalam Black’s Law Dictionary dikatakan Retroactivie adalah extending in scope or effect to matters that have occurred in the past. Di Indonesia istilah yang dekat dan sering dipergunakan adalah ‘berlaku surut’.[19]
Di Indonesia dua aturan yang berkaitan dengan asas non retroaktif atau larangan memberlakukan surut suatu aturan perundang-undangan, yaitu dalam Pasal 28 I UUD 1945 dan Pasal 1 ayat (1) KUHP.

Asas non retroaktif ini merupakan asas turunan dari asas legalitas. Dengan keharusan untuk menetapkan terlebih dahulu suatu perbuatan sebagai kejahatan atau tindak pidana di dalam hukum atau peraturan perundang-undangan pidana nasional, dan atas dasar itu barulah negara itu menerapkannya terhadap si pelaku perbuatan tersebut. Dengan kata lain, peraturan perundang-undangannya yang mengaturnya harus ada dan berlaku lebih dulu, barulah kemudian ditetapkan terhadap perbuatan-perbuatan yang terjadi setelah berlakunya peraturan perundang-undangan tersebut. Dalam arti negatif, peraturan perundang-undangan tersebut tidak dapat diterapkan terhadap perbuatan-perbuatan yang sama yang terjadi sebelum berlakunya peraturan perundang-undangan itu. Secara singkat dapat dikatakan, bahwa suatu peraturan perundang-undangan tidak boleh diberlakukan surut. Inilah yang dikenal dengan asas non retroaktif.[20]





[1]     S.R. Sianturi, Asas-Asas hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni Ahaem-Petehaem, Jakarta, 1996, hlm. 72.
[2]     Ibid, hlm. 73.
[3]     Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hlm. 184
[4]     Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1985, hlm. 23.
[5]     Ibid
[6]     Ibid
[7]     Ibid, hlm. 25.
[8]     S.R. Sianturi, Asas-Asas hukum Pidana……….Op Cit, hlm.73.
[9]     KUHP, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2010, hlm. 479.
[10]  P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir dalam Lilik Mulyadi, “Asas Legalitas Dalam Perspektif Hukum Pidana Dan Kajian Perbandingan Hukum”, Artikel Dosen Bagian I, Juli 2010, hlm.1
[11]  Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm.39.
[12]   Paul Johan Anslem von Feurbach dalam dalam Lilik Mulyadi, “Asas Legalitas Dalam Perspektif Hukum Pidana Dan Kajian Perbandingan Hukum”, Artikel Dosen Bagian I, Juli 2010, hlm.1.
[13]   J.E Sahetapy dalam Lilik Mulyadi, “Asas Legalitas Dalam Perspektif Hukum Pidana Dan Kajian Perbandingan Hukum”, Artikel Dosen Bagian I, Juli 2010, hlm.2.
[14]   Moeljatno, Azas-azas hukum…..Op Cit,,hlm. 24

[15]   Lilik Mulyadi, “Asas Legalitas Dalam Perspektif…………..Op Cit, hlm.3.
[16]    Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana, P.T Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm.14.
[17]   S.R. Sianturi, Asas-Asas hukum Pidana……….Op Cit, hlm.74.
[18]   Wirjono Projodikoro, asas-asas hukum pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2003, hlm.43.
[19]   M. Rasyid Ariman, Kontroversi Asas Legalitas, Jurnal Equality, vol.11 No.1 Februari 2006, hlm.37.
[20]   I Wayan Parthiana, hukum Pidana Internasional, Yrama Widya, Bandung, 2006, hlm. 64-65.

PERBEDAAN ASAS BERLAKU SURUT DALAM KUHP DAN UNDANG-UNDANG PENGADILAN HAM


Masalah kejahatan terhadap kemanusiaan di era globalisasi ini merupakan masalah yang menuntut perhatian dan langkah serius dari seluruh warga negara. Dalam upaya penanggulangan kejahatan tersebut tentunya bukan merupakan pekerjaan mudah, sehingga memerlukan visi dan misi serta kebijakan dan langkah koordinatif dalam pelaksanaannya, bukan hanya pada tingkat nasional atau regional melainkan juga tingkat internasional.
Didalam contoh kasus kejahatan terhadap kemanusiaan terorisme misalnya, memiliki dampak yang sangat luas dan merugikan. Terorisme dapat menghancurkan kemanusiaan dan menghilangkan rasa aman dalam masyarakat. Oleh karena itu penting sekali untuk menghentikan terorisme sebelum terorisme tersebut benar-benar terjadi. Untuk itu, dianggap tepat sikap pemerintah yang proaktif dengan menetapkan Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Terorisme menyangkut peristiwa bom bali, meskipun pada kenyataannya undang-undang tersebut mengundang kontrovesi karena dianggap kontradiktif terhadap asas paling fundamental menyangkut kepastian hukum, yaitu asas larangan berlaku surut (asas non retro aktif).
Asas larangan berlaku surut (asas non retro aktif) sebenarnya sudah ditentukan untuk segala bidang hukum, yaitu Pasal (2) dari Algemene Bepalingen van Wetgeving (ketentuan-ketentuan Umum tentang Perundang-undangan) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda dengan Publicatie (pengumuman) tanggal 30 April 1847 (Staatblaad 1847 No. 23).[1]
Pasal 2 dari Algemene Bepalingen van Wetgeving ini berbunyi : De wet verbindt allen voor het toekomende en heft geen terugwerkende kracht (undang-undang hanya mengikat untuk masa depan dan tidak berlaku surut).
Asas ini diulang untuk hukum pidana dan juga termuat sebagai pasal pertama dalam kodifikasi hukum pidana, menandakan bahwa larangan berlaku surut ini oleh pembentuk undang-undang ditekankan bagi hukum pidana.[2]
Asas “Lex Temporis Delicti” (LTD) atau asas “non retro aktif”, larangan berlakunya hukum/Undang-undang pidana secara retro aktif ini dilatarbelakangi oleh ide perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Oleh karena itulah, prinsip ini tercantum di dalam Pasal 11 Universal Declaration of Human Right (UDHR), Pasal 15 ayat (1) International Convention on Civil and Political Rights (ICCPR), Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 24 ayat (1) Statuta Roma tentang International Criminal Court (ICC)[3].
Walaupun prinsip “non retro aktif” dilatarbelakangi oleh ide perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM), namun masalah “retro aktif” ini juga muncul justru sewaktu dibicarakan masalah “kejahatan Hak Asasi Manusia (HAM)” dalam rangka perlindungan Hak Asasi Manusia.
Sebagaimana dimaklumi, dalam undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dinyatakan, bahwa “pelanggaran HAM yang berat” akan diadili oleh Pengadilan Hak Asai Manusia (HAM) (Pasal 104). Kemudian keluar Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang di dalamnya juga mengatur hukum pidana materilnya dan membagi/merinci Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat menjadi dua tindak pidana, yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 7 sampai dengan Pasal 9 jo. Pasal 36 sampai dengan Pasal 42).
Masalah retro aktif yang ramai dibicarakan ialah, apakah Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 dapat juga diberlakukan terhadap kejahatan Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi sebelum keluarnya undang-undang itu. Permasalahan ini muncul sehubungan dengan adanya ketentuan dalam penjelasan Pasal 4 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa : “Hal untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan”.
Pasal 43 undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa : “Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) ad hoc”.
Menurut Barda Nawawi Arief, dilihat dari sudut hukum pidana positif di Indonesia (KUHP), hal ini patut dipermasalahkan karena menurut KUHP Pasal 1 ayat (1), masalah retro aktif baru ada (muncul) kalau ada masa transisi (yaitu kalau ada perubahan undang-undang, bukan dalam hal adanya undang-undang baru).
Asas legalitas dalam KUHP Indonesia bertolak dari nilai dasar kepastian hukum. Namun, dalam realitasnya, asas legalitas ini mengalami berbagai bentuk pelunakan/penghalusan atau pergeseran/perluasan dan menghadapi berbagai tantangan, antara lain sebagai berikut :
1.   Bentuk pelunakan/penghalusan pertama terdapat di dalam KUHP sendiri, yaitu dengan adanya Pasal 1 ayat (2) KUHP;
2.   Dalam praktek yurisprudensi dan perkembangan teori, dikenal dengan adanya sifat melawan hukum yang materiel;
3.   Dalam hukum positif dan perkembangannya di Indonesia (dalam Undang-undang Dasar Sementara 1950; Undang-undang nomor 1 Drt. 1951; Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 jo. Undang-undang Nomor 35 tahun 1999; dan Konsep KUHP Baru), asas legalitas tidak semata-mata diartikan sebagai nullum delictum sine lege, tetapi juga sebagai nullum delictum sine ius, atau tidak semata-mata dilihat sebagai asas legalitas formal, tetapi juga asas legalitas materiel, yaitu dengan mengakui hukum pidana adat, hukum yang hidup atau hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum;
4.   Dalam dokumen internasional dan KUHP negara lain juga terlihat perkembangan/pengakuan kearah asas legalitas materiel (Pasal 15 ayat (2) International Convention on Civil and Political Right (ICCPR) dan KUH Kanada di atas;
5.   Di beberapa KUHP Negara lain (antara lain KUHP Belanda, Yunani, Portugal) ada ketentuan mengenai pemaafan/pengampunan hakim (dikenal dengan barbagai istilah, antara lain Rechterlijk pardon, Judicial pardon, Dispensa de pena atau nonimposing of penally yang merupakan bentuk Judicial corrective to the legality principle;
6.   Ada perubahan fundamental di KUHAP Prancis pada tahun 1975 (dengan Undang-udang nomor 75-624 tanggal 11 juli 1975) yang menambahkan ketentuan mengenai pernyataan bersalah tanpa menjatuhkan pidana (the declaration of guilt without imposing a penalty);
7.   Perkembangan/perubahan yang sangat cepat dan sulit diantisipasi dari cyber crime merupakan tantangan yang cukup besar bagi berlakunya asas lex certa karena dunia maya merupakan bukan dunia riel/realita/nyata/pasti. [4]
Bertolak dari uraian di atas, menarik untuk dikaji ulang kebijakan asas legalitas di Indonesia serta implementasi dari asas retro aktif maupun kebijakan hukum pidana lainnya yang bertolak dari ide kepastian hukum.
Menjadi suatu yang patut ditelaah, mengenai ketentuan hukum pidana positif di Indonesia dalam permasalahan kasus HAM berat yang pada waktu kejadiannya belum ada perangkat undang-undang yang mengaturnya dapat dikenakan ketentuan retro aktif.
Selain dari pada itu berdasarkan Pasal 28 i ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 penerapan asas retro aktif itu dilarang, dalam hal ini apabila dikaitkan dengan salah satu bentuk tindak pidana yang dianggap melanggar HAM seperti halnya tindak pidana terorisme yang justru menerapkan asas retro aktif (atas Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme). Sementara dalam Pasal 28 huruf I angka (1) UUD 1945 jelas dinyatakan bahwa hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Dengan memperhatikan kenyataan-kenyataan di atas, terhadap permasalahan penerapan asas non retro aktif dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dan ketentuan retro aktif dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP maupun dalam undang-undang di luar KUHP mengenai tindak kejahatan Pelanggaran HAM Berat yang memiliki perbedaan penerapannya.


[1]     Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2003, hlm 43
[2]     Ibid, hlm 43.
[3]     Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, P.T Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 1.
[4]     Ibid, hlm. 9.