Laman

Jumat, 22 Februari 2013

PERBEDAAN ASAS BERLAKU SURUT DALAM KUHP DAN UNDANG-UNDANG PENGADILAN HAM


Masalah kejahatan terhadap kemanusiaan di era globalisasi ini merupakan masalah yang menuntut perhatian dan langkah serius dari seluruh warga negara. Dalam upaya penanggulangan kejahatan tersebut tentunya bukan merupakan pekerjaan mudah, sehingga memerlukan visi dan misi serta kebijakan dan langkah koordinatif dalam pelaksanaannya, bukan hanya pada tingkat nasional atau regional melainkan juga tingkat internasional.
Didalam contoh kasus kejahatan terhadap kemanusiaan terorisme misalnya, memiliki dampak yang sangat luas dan merugikan. Terorisme dapat menghancurkan kemanusiaan dan menghilangkan rasa aman dalam masyarakat. Oleh karena itu penting sekali untuk menghentikan terorisme sebelum terorisme tersebut benar-benar terjadi. Untuk itu, dianggap tepat sikap pemerintah yang proaktif dengan menetapkan Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Terorisme menyangkut peristiwa bom bali, meskipun pada kenyataannya undang-undang tersebut mengundang kontrovesi karena dianggap kontradiktif terhadap asas paling fundamental menyangkut kepastian hukum, yaitu asas larangan berlaku surut (asas non retro aktif).
Asas larangan berlaku surut (asas non retro aktif) sebenarnya sudah ditentukan untuk segala bidang hukum, yaitu Pasal (2) dari Algemene Bepalingen van Wetgeving (ketentuan-ketentuan Umum tentang Perundang-undangan) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda dengan Publicatie (pengumuman) tanggal 30 April 1847 (Staatblaad 1847 No. 23).[1]
Pasal 2 dari Algemene Bepalingen van Wetgeving ini berbunyi : De wet verbindt allen voor het toekomende en heft geen terugwerkende kracht (undang-undang hanya mengikat untuk masa depan dan tidak berlaku surut).
Asas ini diulang untuk hukum pidana dan juga termuat sebagai pasal pertama dalam kodifikasi hukum pidana, menandakan bahwa larangan berlaku surut ini oleh pembentuk undang-undang ditekankan bagi hukum pidana.[2]
Asas “Lex Temporis Delicti” (LTD) atau asas “non retro aktif”, larangan berlakunya hukum/Undang-undang pidana secara retro aktif ini dilatarbelakangi oleh ide perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Oleh karena itulah, prinsip ini tercantum di dalam Pasal 11 Universal Declaration of Human Right (UDHR), Pasal 15 ayat (1) International Convention on Civil and Political Rights (ICCPR), Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 24 ayat (1) Statuta Roma tentang International Criminal Court (ICC)[3].
Walaupun prinsip “non retro aktif” dilatarbelakangi oleh ide perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM), namun masalah “retro aktif” ini juga muncul justru sewaktu dibicarakan masalah “kejahatan Hak Asasi Manusia (HAM)” dalam rangka perlindungan Hak Asasi Manusia.
Sebagaimana dimaklumi, dalam undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dinyatakan, bahwa “pelanggaran HAM yang berat” akan diadili oleh Pengadilan Hak Asai Manusia (HAM) (Pasal 104). Kemudian keluar Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang di dalamnya juga mengatur hukum pidana materilnya dan membagi/merinci Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat menjadi dua tindak pidana, yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 7 sampai dengan Pasal 9 jo. Pasal 36 sampai dengan Pasal 42).
Masalah retro aktif yang ramai dibicarakan ialah, apakah Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 dapat juga diberlakukan terhadap kejahatan Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi sebelum keluarnya undang-undang itu. Permasalahan ini muncul sehubungan dengan adanya ketentuan dalam penjelasan Pasal 4 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa : “Hal untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan”.
Pasal 43 undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa : “Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) ad hoc”.
Menurut Barda Nawawi Arief, dilihat dari sudut hukum pidana positif di Indonesia (KUHP), hal ini patut dipermasalahkan karena menurut KUHP Pasal 1 ayat (1), masalah retro aktif baru ada (muncul) kalau ada masa transisi (yaitu kalau ada perubahan undang-undang, bukan dalam hal adanya undang-undang baru).
Asas legalitas dalam KUHP Indonesia bertolak dari nilai dasar kepastian hukum. Namun, dalam realitasnya, asas legalitas ini mengalami berbagai bentuk pelunakan/penghalusan atau pergeseran/perluasan dan menghadapi berbagai tantangan, antara lain sebagai berikut :
1.   Bentuk pelunakan/penghalusan pertama terdapat di dalam KUHP sendiri, yaitu dengan adanya Pasal 1 ayat (2) KUHP;
2.   Dalam praktek yurisprudensi dan perkembangan teori, dikenal dengan adanya sifat melawan hukum yang materiel;
3.   Dalam hukum positif dan perkembangannya di Indonesia (dalam Undang-undang Dasar Sementara 1950; Undang-undang nomor 1 Drt. 1951; Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 jo. Undang-undang Nomor 35 tahun 1999; dan Konsep KUHP Baru), asas legalitas tidak semata-mata diartikan sebagai nullum delictum sine lege, tetapi juga sebagai nullum delictum sine ius, atau tidak semata-mata dilihat sebagai asas legalitas formal, tetapi juga asas legalitas materiel, yaitu dengan mengakui hukum pidana adat, hukum yang hidup atau hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum;
4.   Dalam dokumen internasional dan KUHP negara lain juga terlihat perkembangan/pengakuan kearah asas legalitas materiel (Pasal 15 ayat (2) International Convention on Civil and Political Right (ICCPR) dan KUH Kanada di atas;
5.   Di beberapa KUHP Negara lain (antara lain KUHP Belanda, Yunani, Portugal) ada ketentuan mengenai pemaafan/pengampunan hakim (dikenal dengan barbagai istilah, antara lain Rechterlijk pardon, Judicial pardon, Dispensa de pena atau nonimposing of penally yang merupakan bentuk Judicial corrective to the legality principle;
6.   Ada perubahan fundamental di KUHAP Prancis pada tahun 1975 (dengan Undang-udang nomor 75-624 tanggal 11 juli 1975) yang menambahkan ketentuan mengenai pernyataan bersalah tanpa menjatuhkan pidana (the declaration of guilt without imposing a penalty);
7.   Perkembangan/perubahan yang sangat cepat dan sulit diantisipasi dari cyber crime merupakan tantangan yang cukup besar bagi berlakunya asas lex certa karena dunia maya merupakan bukan dunia riel/realita/nyata/pasti. [4]
Bertolak dari uraian di atas, menarik untuk dikaji ulang kebijakan asas legalitas di Indonesia serta implementasi dari asas retro aktif maupun kebijakan hukum pidana lainnya yang bertolak dari ide kepastian hukum.
Menjadi suatu yang patut ditelaah, mengenai ketentuan hukum pidana positif di Indonesia dalam permasalahan kasus HAM berat yang pada waktu kejadiannya belum ada perangkat undang-undang yang mengaturnya dapat dikenakan ketentuan retro aktif.
Selain dari pada itu berdasarkan Pasal 28 i ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 penerapan asas retro aktif itu dilarang, dalam hal ini apabila dikaitkan dengan salah satu bentuk tindak pidana yang dianggap melanggar HAM seperti halnya tindak pidana terorisme yang justru menerapkan asas retro aktif (atas Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme). Sementara dalam Pasal 28 huruf I angka (1) UUD 1945 jelas dinyatakan bahwa hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Dengan memperhatikan kenyataan-kenyataan di atas, terhadap permasalahan penerapan asas non retro aktif dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dan ketentuan retro aktif dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP maupun dalam undang-undang di luar KUHP mengenai tindak kejahatan Pelanggaran HAM Berat yang memiliki perbedaan penerapannya.


[1]     Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2003, hlm 43
[2]     Ibid, hlm 43.
[3]     Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, P.T Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 1.
[4]     Ibid, hlm. 9.

Tidak ada komentar: