Masalah kejahatan terhadap kemanusiaan di era globalisasi
ini merupakan masalah yang menuntut perhatian dan langkah serius dari seluruh
warga negara. Dalam upaya penanggulangan kejahatan tersebut tentunya bukan
merupakan pekerjaan mudah, sehingga memerlukan visi dan misi serta kebijakan
dan langkah koordinatif dalam pelaksanaannya, bukan hanya pada tingkat nasional
atau regional melainkan juga tingkat internasional.
Didalam contoh kasus kejahatan terhadap kemanusiaan
terorisme misalnya, memiliki dampak yang sangat luas dan merugikan. Terorisme
dapat menghancurkan kemanusiaan dan menghilangkan rasa aman dalam masyarakat.
Oleh karena itu penting sekali untuk menghentikan terorisme sebelum terorisme
tersebut benar-benar terjadi. Untuk itu, dianggap tepat sikap pemerintah yang proaktif dengan menetapkan Undang-undang
No. 15 Tahun 2003 tentang Terorisme menyangkut peristiwa bom bali, meskipun
pada kenyataannya undang-undang tersebut mengundang kontrovesi karena dianggap
kontradiktif terhadap asas paling fundamental menyangkut kepastian hukum, yaitu
asas larangan berlaku surut (asas non
retro aktif).
Asas larangan berlaku surut (asas non retro aktif) sebenarnya sudah ditentukan untuk segala
bidang hukum, yaitu Pasal (2) dari Algemene
Bepalingen van Wetgeving (ketentuan-ketentuan Umum tentang
Perundang-undangan) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda dengan Publicatie (pengumuman) tanggal 30 April
1847 (Staatblaad 1847 No. 23).[1]
Pasal 2 dari Algemene
Bepalingen van Wetgeving ini berbunyi : De
wet verbindt allen voor het toekomende en heft geen terugwerkende kracht (undang-undang
hanya mengikat untuk masa depan dan tidak berlaku surut).
Asas ini diulang untuk hukum pidana dan juga termuat
sebagai pasal pertama dalam kodifikasi hukum pidana, menandakan bahwa larangan
berlaku surut ini oleh pembentuk undang-undang ditekankan bagi hukum pidana.[2]
Asas “Lex Temporis
Delicti” (LTD) atau asas “non retro aktif”, larangan berlakunya
hukum/Undang-undang pidana secara retro
aktif ini dilatarbelakangi oleh ide perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM).
Oleh karena itulah, prinsip ini tercantum di dalam Pasal 11 Universal Declaration of Human Right (UDHR),
Pasal 15 ayat (1) International
Convention on Civil and Political Rights (ICCPR), Pasal 22 ayat (1) dan
Pasal 24 ayat (1) Statuta Roma tentang International
Criminal Court (ICC)[3].
Walaupun prinsip “non
retro aktif” dilatarbelakangi oleh ide perlindungan Hak Asasi Manusia
(HAM), namun masalah “retro aktif”
ini juga muncul justru sewaktu dibicarakan masalah “kejahatan Hak Asasi Manusia
(HAM)” dalam rangka perlindungan Hak Asasi Manusia.
Sebagaimana dimaklumi, dalam undang-undang Nomor 39 tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dinyatakan, bahwa “pelanggaran HAM yang
berat” akan diadili oleh Pengadilan Hak Asai Manusia (HAM) (Pasal 104).
Kemudian keluar Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia yang di dalamnya juga mengatur hukum pidana materilnya dan
membagi/merinci Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat menjadi dua tindak
pidana, yaitu kejahatan genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 7 sampai dengan Pasal 9 jo. Pasal 36
sampai dengan Pasal 42).
Masalah retro aktif
yang ramai dibicarakan ialah, apakah Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 dan
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 dapat juga diberlakukan terhadap kejahatan
Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi sebelum keluarnya undang-undang itu.
Permasalahan ini muncul sehubungan dengan adanya ketentuan dalam penjelasan
Pasal 4 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa : “Hal untuk tidak dituntut atas dasar hukum
yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap Hak
Asasi Manusia (HAM) yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan”.
Pasal 43 undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 yang
menyatakan bahwa : “Pelanggaran Hak Asasi
Manusia (HAM) yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini,
diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) ad hoc”.
Menurut Barda
Nawawi Arief, dilihat dari sudut hukum pidana positif di Indonesia (KUHP),
hal ini patut dipermasalahkan karena menurut KUHP Pasal 1 ayat (1), masalah retro aktif baru ada (muncul) kalau ada
masa transisi (yaitu kalau ada perubahan undang-undang, bukan dalam hal adanya
undang-undang baru).
Asas legalitas dalam KUHP Indonesia bertolak dari nilai
dasar kepastian hukum. Namun, dalam realitasnya, asas legalitas ini mengalami
berbagai bentuk pelunakan/penghalusan atau pergeseran/perluasan dan menghadapi
berbagai tantangan, antara lain sebagai berikut :
1.
Bentuk pelunakan/penghalusan pertama terdapat di dalam KUHP sendiri, yaitu
dengan adanya Pasal 1 ayat (2) KUHP;
2.
Dalam praktek yurisprudensi dan perkembangan teori, dikenal dengan adanya
sifat melawan hukum yang materiel;
3.
Dalam hukum positif dan perkembangannya di Indonesia (dalam Undang-undang
Dasar Sementara 1950; Undang-undang nomor 1 Drt. 1951; Undang-undang Nomor 14 tahun
1970 jo. Undang-undang Nomor 35 tahun 1999; dan Konsep KUHP Baru), asas
legalitas tidak semata-mata diartikan sebagai nullum delictum sine lege, tetapi juga sebagai nullum delictum sine ius, atau tidak semata-mata dilihat sebagai
asas legalitas formal, tetapi juga asas legalitas materiel, yaitu dengan
mengakui hukum pidana adat, hukum yang hidup atau hukum tidak tertulis sebagai
sumber hukum;
4.
Dalam dokumen internasional dan KUHP negara lain juga terlihat
perkembangan/pengakuan kearah asas legalitas materiel (Pasal 15 ayat (2) International Convention on Civil and
Political Right (ICCPR) dan KUH Kanada di atas;
5.
Di beberapa KUHP Negara lain (antara lain KUHP Belanda, Yunani, Portugal)
ada ketentuan mengenai pemaafan/pengampunan hakim (dikenal dengan barbagai
istilah, antara lain Rechterlijk pardon,
Judicial pardon, Dispensa de pena atau nonimposing
of penally yang merupakan bentuk Judicial
corrective to the legality principle;
6.
Ada perubahan fundamental di KUHAP Prancis pada tahun 1975 (dengan Undang-udang
nomor 75-624 tanggal 11 juli 1975) yang menambahkan ketentuan mengenai pernyataan bersalah tanpa menjatuhkan pidana
(the declaration of guilt without
imposing a penalty);
7.
Perkembangan/perubahan yang sangat cepat dan sulit diantisipasi dari cyber crime merupakan tantangan yang
cukup besar bagi berlakunya asas lex
certa karena dunia maya merupakan bukan dunia riel/realita/nyata/pasti. [4]
Bertolak dari uraian di atas, menarik untuk dikaji ulang
kebijakan asas legalitas di Indonesia serta implementasi dari asas retro aktif maupun kebijakan hukum
pidana lainnya yang bertolak dari ide kepastian hukum.
Menjadi suatu yang patut ditelaah, mengenai ketentuan hukum
pidana positif di Indonesia dalam permasalahan kasus HAM berat yang pada waktu
kejadiannya belum ada perangkat undang-undang yang mengaturnya dapat dikenakan
ketentuan retro aktif.
Selain dari pada itu berdasarkan Pasal 28 i ayat (1) Undang-undang
Dasar 1945 penerapan asas retro aktif
itu dilarang, dalam hal ini apabila dikaitkan dengan salah satu bentuk tindak
pidana yang dianggap melanggar HAM seperti halnya tindak pidana terorisme yang
justru menerapkan asas retro aktif (atas
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Pengganti Undang-undang Nomor
1 tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme). Sementara dalam
Pasal 28 huruf I angka (1) UUD 1945 jelas dinyatakan bahwa hak untuk tidak
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah HAM yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun.
Dengan memperhatikan
kenyataan-kenyataan di atas, terhadap permasalahan penerapan asas non retro aktif dalam Pasal 1 ayat (1)
KUHP dan ketentuan retro aktif dalam
Pasal 1 ayat (2) KUHP maupun dalam undang-undang di luar KUHP mengenai tindak kejahatan Pelanggaran
HAM Berat yang memiliki perbedaan penerapannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar