Posted by Pepnozfirman
Uraian-uraian mengenai sejarah asas legalitas dalam buku-buku, tulisan para sarjana pada umumnya sependapat bahwa asas tersebut ada pada jaman dimana hukum pidana belum tertulis, ketika kesewenang-wenangan penguasa (Raja, Hakim) semakin tidak tertahankan oleh rakyat lagi. Pada jaman hukum pidana belum tertulis, sementara kekuasaan raja bersifat mutlak, sumber hukum pidana adalah “hukum adat” atau kebiasaan-kebiasaan yang kemudian berkembang ke arah “keyakinan atau keadilan pribadi” sang penguasa. Pada akhirnya menjadi kesewenang-wenangan penguasa, di mana pemidanaan dilakukan sesuai dengan selera penguasa. Ketentuan pidana tergantung pada subyektifitas penguasa.[1]
Uraian-uraian mengenai sejarah asas legalitas dalam buku-buku, tulisan para sarjana pada umumnya sependapat bahwa asas tersebut ada pada jaman dimana hukum pidana belum tertulis, ketika kesewenang-wenangan penguasa (Raja, Hakim) semakin tidak tertahankan oleh rakyat lagi. Pada jaman hukum pidana belum tertulis, sementara kekuasaan raja bersifat mutlak, sumber hukum pidana adalah “hukum adat” atau kebiasaan-kebiasaan yang kemudian berkembang ke arah “keyakinan atau keadilan pribadi” sang penguasa. Pada akhirnya menjadi kesewenang-wenangan penguasa, di mana pemidanaan dilakukan sesuai dengan selera penguasa. Ketentuan pidana tergantung pada subyektifitas penguasa.[1]
Salah satu penyebab dari revolusi Prancis adalah adanya hasrat masyarakat
untuk mendapatkan kepastian hukum. Rakyat tertindas menghendaki adanya
kepastian hukum. Tahun 1789 asas Nullum
delictum nulla poena sine preavia lege sudah dicantumkan dalam konstitusi
Prancis. Kemudian dicantumkan dalam Code
Penal-nya Belanda yang pernah mengalami penjajahan Prancis telah juga
mencantumkan asas tersebut dalam Wetboek
van Strafrecht (WvS) melalui Code
Penal yang dibawa oleh Prancis. Pada tahun 1915 (mulai berlaku tahun 1918)
asas tersebut telah pula dicantumkan dalam KUHP untuk Indonesia yang merupakan
jajahan Belanda pada ketika itu. Akhirnya ketentuan tersebut berlaku pula
setelah Indonesia merdeka.[2]
Secara formal sebenarnya asas legalitas tidak pernah dirumuskan dalam
perundang-undangan, tetapi asas ini menjiwai putusan-putusan pengadilan. Karena
bersumber pada case law, pada mulanya
Pengadilan di Inggris merasa berhak menciptakan delik.
Namun dalam perkembangannya, pada 1972 House
of Lord menolak secara bulat adanya kekuasaan pengadilan untuk menciptakan
delik-delik baru atau memperluas delik yang ada. Jadi kelihatannya ada
pergeseran dari asas legalitas dalam pengertian materil ke asas legalitas dalam
pengertian formal. Artinya, suatu perbuatan yang pada mulanya dapat ditetapkan
sebagai suatu delik oleh Hakim berdasarkan common
law atau hukum kebiasaan yang dikembangkan lewat putusan pengadilan, tetapi
dalam perkembangannya hanya dapat ditetapkan berdasarkan undang-undang atau statute law. Pertumbuhan internasional
menunjukan bahwa the principle of
legality itu dapat disisihkan oleh the
principle of justice. Seperti peradilan penjahat perang, korupsi,
terorisme, narkotika yang merupakan lex
specialis derogate legi generali. The principle of legality mempunyai
kelemahan cenderung kepada tiranisme, seperti hukum pidana Jerman sewaktu jaman
Hitler. Contoh kasus Lex Van der Lubbe.[3]
Menurut Moeljatno, bahwa dasar
yang pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan
pidana adalah norma yang tidak tertulis, tidak pidana jika tidak ada kesalahan.
Dasar ini adalah mengenai dipertanggungjawabkannya seseorang atas perbuatan
yang telah dilakukannya. Jadi mengenai criminal
responsibility atau criminal
liability.[4]
Tetapi sebelum itu, mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan, yaitu
mengenai perbuatan pidananya sendiri, mengenai criminal act, juga didasari oleh hal pokok, yaitu: Asas Legalitas (principle of legality), asas yang
menentukan bahwa tidak ada perbuatan
yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih
dahulu dalam perundang-undangan. Dikenal dalam bahasa Latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine preavia
lege. (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu).[5] Ucapan Nullum delictum nulla poena sine preavia
lege ini berasal dari von Feurbach,
sarjana hukum pidana Jerman (1775-1833). Dialah yang merumuskannya dalam
pepatah Latin tadi dalam bukunya: “Lehrbuch
des peinlichen Recht” (1801).[6]
Perumusan asas legalitas dari von
Feurbach itu dikemukakan berhubung dengan teorinya yang dikenal dengan nama
“vom psychologischen zwang”, yaitu
yang menganjurkan supaya dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di
dalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harus dituliskan
dengan jelas, tetapi juga tentang macamnya pidana yang diancamkan. Dengan cara
demikian ini, maka oleh orang yang melakukan perbuatan yang dilarang tadi lebih
dahulu telah diketahui pidana apa yang akan dijatuhkan kepadanya jika nanti
perbuatan itu dilakukan. Dengan demikian dalam batinnya, dalam psychen-nya, lalu diadakan tekanan untuk
tidak berbuat. Apabila ada yang melakukan perbuatan tadi, maka hal dijatuhi
pidana kepadanya itu dapat dipandang sebagai sudah disetujuinya sendiri. Jadi
pendirian von Feurbach mengenai
pidana ialah pendirian yang tergolong absolut (mutlak). Sama halnya dengan
teori pembalasan (retribution).[7]
Asas dari Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi “hukum pidana harus bersumber
pada undang-undang”. Artinya pemidanaan harus berdasarkan undang-undang (lege), yang dimaksud dengan undang-undang disini menurut S. R. Sianturi, adalah yang secara
tertulis telah dituangkan dalam bentuk undang-undang yang dibuat oleh
Pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), akan tetapi juga produk
perundang-undangan lainnya seperti Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan-peraturan
pelaksanaan lainnya seperti peraturan/instruksi Menteri, Gubernur/Kepala Daerah
dan lain sebagainnya. Karena penguasa dalam melaksanakan tugasnya (dalam hal
ini peradilan) terikat pada ketentuan perundang-undangan, maka akan terhindar
kesewenang-wenangan atau penilaian pribadi seenaknya. Hal ini berarti akan
terdapat kepastian hukum bagi setiap
pencari keadilan (yang juga terikat kepada ketentuan perundang-undangan
tersebut).[8]
Menurut beberapa pakar lain asas legalitas lazim disebut dengan terminologi
“principle of legality”, “legaliteitbeginsel”, “non-retroaktif”, “de la legalite” atau “ex post facto laws”. Ketentuan asas
legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Indonesia yang berbunyi: “suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali
berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.”[9] (Geen feit is strafbaar dan uit kracht van
een daaran voorafgegane wetteljke strafbepaling). P.A.F. Lamintang dan C.
Djisman Samosir merumuskan dengan terminologi sebagai, “Tiada suatu
perbuatan dapat dihukum kecuali didasarkan pada ketentuan pidana menurut
undang-undang yang telah diadakan lebih dulu”[10]. Andi Hamzah menterjemahkan dengan
terminologi, “Tiada suatu perbuatan (feit)
yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan
pidana yang mendahuluinya”.[11]
Dikaji dari substansinya, asas legalitas sebagai nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali (tidak ada
delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya), atau nulla poena sine lege (tidak ada pidana
tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang), nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana),
nullum crimen sine lege (tidak ada
perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang) atau nullum crimen sine poena legali (tidak ada perbuatan pidana, tidak
ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya) atau nullum crimen sine lege stricta (tidak ada perbuatan pidana tanpa
ketentuan yang tegas).[12]
Akan tetapi, walaupun asas legalitas diformulasikan dalam bahasa Latin, ada
menimbulkan kesan seolah-olah asal muasal asas ini adalah dari hukum Romawi
kuno. Aturan ini, dalam formulasi bahasa Latin, berasal dari juris Jerman, von Feuerbach – ini berarti bahwa asas ini lahir pada awal abad 19
dan harus dipandang sebagai produk ajaran klasik. J.E. Sahetapy menyebutkan bahwa asas legalitas dirumuskan dalam
bahasa Latin semata-mata karena bahasa Latin merupakan bahasa ‘dunia hukum’
yang digunakan pada waktu itu.[13] Moeljatno
menyebutkan bahwa, baik adagium ini maupun asas legalitas tidak dikenal dalam
hukum Romawi Kuno. Pada saat itu dikenal kejahatan yang disebut kriminal extra
ordinaria, yang berarti “kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam
undang-undang”. Diantara criminal extra
ordinaria ini yang terkenal adalah crimina
stellionatus (perbuatan durjana/jahat). Dalam sejarahnya, criminal extra ordinaria ini diadopsi
raja-raja yang berkuasa.[14] Hal
ini terbuka peluang
yang sangat lebar untuk menerapkannya secara sewenang-wenang. Oleh karena itu,
timbul pemikiran tentang harus ditentukan dalam peraturan perundang-undangan
terlebih dahulu perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat dipidana.
Selain konteks di atas, ada juga yang berasumsi bahwa asas legalitas
berasal dari ajaran Montesquieu
dalam bukunya L’Esprit des Lois.
Menurut van der Donk dan Hazewinkel Suringa baik ajaran Montesquieu maupun Rosseau mempersiapkan penerimaan umum terhadap asas legalitas, akan
tetapi dalam ajaran kedua tokoh tersebut tidak terdapat rumusan asas legalitas.
Maksud dari pelajaran kedua tokoh tersebut adalah melindungi individu terhadap
tindakan Hakim yang sewenang-wenang, yaitu melindungi kemerdekaan pribadi individu
terhadap tuntutan tindakan yang sewenang-wenang. Hans Kelsen menyebutkan dimensi asas nulla poena sine lege, nullum crimen sine lege adalah ekspresi legal positivism dalam hukum pidana.[15]
Dalam perkembangannya, yaitu dalam konsep-konsep pembaharuan hukum pidana
di Indonesia, mengenai sumber hukum atau landasan legalitas untuk menyatakan
suatu perbuatan sebagai tindak pidana tidak hanya didasarkan pada asas
legalitas formal (berdasarkan Undang-undang), tetapi juga didasarkan pada asas
legalitas materiel, yaitu dengan memberi tempat kepada hukum yang hidup/hukum
yang tidak tertulis.
Perluasan asas legalitas materiel ini berdasarkan pada:
1.
Landasan kebijakan legislatif nasional setelah kemerdekaan;
2.
Landasan kesepakatan ilmiah/seminar nasional;
3.
Landasan sosiologis;
4.
Landasan internasional dan komparatif.
Dari kajian bahan-bahan internasional dan perbandingan, dijumpai adanya
bentuk-bentuk perlunakan/penghalusan atau pergeseran/perluasan terhadap asas
legalitas formal, antara lain:
1.
Diakuinya The general principles of
law reconized by the community of nation sebagai sumber hukum (lihat Pasal
15 ayat (2) ICCPR dan KUHP Kanada);
2.
Diakuinya “pemaafan/pengampunan Hakim”, rechterlijk
pardon/judicial pardon/dispensa de pena” sebagai bentuk Judicial corrective to the legality principle (antara lain
terlihat di Belanda, Yunani, Portugal).
Disamping itu, perkembangan/perubahan yang sangat cepat dan sulit
diantisipasi dari cyber crime
merupakan tantangan cukup besar bagi berlakunya asas lex certa, karena di dunia maya (cyber
space) bukan dunia riel/realita/nyata/pasti.
Di dalam konsep KUHP belum ada penegasan mengenai kriteria atau rambu-rambu
mengenai sumber hukum materiel mana yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum
(sumber legalitas). Pasal 1 ayat (3) konsep KUHP hanya menegaskan bahwa ketentuan dalam ayat (1), yaitu
asas legalitas formal, tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup atau hukum
adat yang menetukan bahwa seorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut
tidak di atur dalam perundang-undangan.[16]
Asas kedua dalam yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP adalah
“ketentuan pidana dalam undang-undang tidak boleh berlaku surut”, non retro aktif. Pasal 2AB atau tepatnya
Pasal 6-9 Undang-undang Pokok Kehakiman tidak menetukan pengecualian terhadap
asas ini. Hal ini dimaksudkan untuk menegakan kepastian hukum bagi seluruh justiabel. [17]
Asas ini sudah ditentukan untuk segala bidang hukum, yaitu Pasal 2 dari Aglemene Bepalingen van Wetgeving
(Ketentuan-ketentuan umum tentang Perundang-undangan) yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Belanda dengan Publicatie (pengumuman)
tanggal 30 April 1847 (Staatblaad 1847
No.23).[18]
Dalam Black’s Law Dictionary
dikatakan Retroactivie adalah extending in scope or effect to matters that have occurred in the past. Di
Indonesia istilah yang dekat dan sering dipergunakan adalah ‘berlaku surut’.[19]
Di Indonesia dua aturan yang berkaitan dengan asas non retroaktif atau larangan memberlakukan surut suatu aturan
perundang-undangan, yaitu dalam Pasal 28 I UUD 1945 dan Pasal 1 ayat (1) KUHP.
Asas non retroaktif ini merupakan asas
turunan dari asas legalitas. Dengan keharusan untuk menetapkan terlebih dahulu
suatu perbuatan sebagai kejahatan atau tindak pidana di dalam hukum atau
peraturan perundang-undangan pidana nasional, dan atas dasar itu barulah negara
itu menerapkannya terhadap si pelaku perbuatan tersebut. Dengan kata lain,
peraturan perundang-undangannya yang mengaturnya harus ada dan berlaku lebih
dulu, barulah kemudian ditetapkan terhadap perbuatan-perbuatan yang terjadi
setelah berlakunya peraturan perundang-undangan tersebut. Dalam arti negatif,
peraturan perundang-undangan tersebut tidak dapat diterapkan terhadap
perbuatan-perbuatan yang sama yang terjadi sebelum berlakunya peraturan
perundang-undangan itu. Secara singkat dapat dikatakan, bahwa suatu peraturan
perundang-undangan tidak boleh diberlakukan surut. Inilah yang dikenal dengan
asas non retroaktif.[20]
[1] S.R.
Sianturi, Asas-Asas hukum Pidana di
Indonesia dan Penerapannya, Alumni Ahaem-Petehaem, Jakarta, 1996, hlm. 72.
[2] Ibid, hlm. 73.
[3] Teguh
Prasetyo, Hukum Pidana, Rajawali
Pers, Jakarta, 2010, hlm. 184
[4] Moeljatno,
Azas-Azas Hukum Pidana, PT. Bina
Aksara, Jakarta, 1985, hlm. 23.
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Ibid, hlm. 25.
[8] S.R.
Sianturi, Asas-Asas hukum Pidana……….Op
Cit, hlm.73.
[9] KUHP, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2010,
hlm. 479.
[10] P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir dalam
Lilik Mulyadi, “Asas Legalitas Dalam
Perspektif Hukum Pidana Dan Kajian Perbandingan Hukum”, Artikel Dosen Bagian I, Juli
2010, hlm.1
[11] Andi Hamzah,
Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm.39.
[12] Paul Johan Anslem von Feurbach dalam dalam Lilik Mulyadi, “Asas Legalitas Dalam Perspektif Hukum Pidana Dan Kajian Perbandingan
Hukum”, Artikel Dosen Bagian I, Juli 2010, hlm.1.
[13] J.E
Sahetapy dalam Lilik Mulyadi, “Asas
Legalitas Dalam Perspektif Hukum Pidana Dan Kajian Perbandingan Hukum”,
Artikel Dosen Bagian I, Juli
2010, hlm.2.
[16] Barda
Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana, P.T
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm.14.
[17] S.R.
Sianturi, Asas-Asas hukum Pidana……….Op
Cit, hlm.74.
[18] Wirjono
Projodikoro, asas-asas hukum pidana di
Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2003, hlm.43.
[19]
M. Rasyid Ariman, Kontroversi Asas
Legalitas, Jurnal Equality, vol.11 No.1 Februari 2006, hlm.37.
[20] I
Wayan Parthiana, hukum Pidana
Internasional, Yrama Widya, Bandung, 2006, hlm. 64-65.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar